Bismillahirrahmanirrahim..
أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Dari Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Aku nikahkan kamu dengan dia
dengan mahar apa yang ada padamu dari Al-Qur`an.”
Hadits ini diriwayatkan oleh:
Al-Imam Ahmad rahimahullahu dalam Musnad-nya
no. hadits 21733, 21783;
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam Kitabul
Wakalah no. hadits 2310, Kitab Fadhailul Qur`an no.
hadits 5029, no. hadits 5030, Kitabun Nikah no. hadits 5087,
5121, 5126, 5135, 5141, 5149, 5150;
Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1425;
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah ‘an Rasulillah no. hadits 1023;
Al-Imam An-Nasa`i rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 3228, 3306;
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1806;
Al-Imam Ibnu Majah rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 1879;
Al-Imam Malik rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 968;
Al-Imam Ad-Darimi rahimahullahu dalam Kitabun
Nikah no. hadits 2104.
Adapun kelengkapan hadits di atas dalam Shahih
Al-Bukhari Kitabun Nikah no. 5149:
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ يَقُولُ: إِنِّي
لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذْ قَامَتِ امْرَأَةٌ
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا
رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا، ثُمَّ قَامَتْ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ،
إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ. فَلَمْ يُجِبْهَا
شَيْئًا ثُمَّ قَامَتِ الثَّالِثَةَ فَقَالَتْ: إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لَكَ فَرَ فِيهَا رَأْيَكَ، فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،
أَنْكِحْنِيهَا. قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ. قَالَ: اذْهَبْ
فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَذَهَبَ فَطَلَبَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ:
مَا وَجَدْتُ شَيْئًا وَلاَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ. فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنَ
الْقُرْآنِ شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا. قَالَ: اذْهَبْ
فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Dari Sahl bin Sa’id As-Sai’di, ia berkata:
Sesungguhnya aku berada pada suatu kaum di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tiba-tiba berdirilah seorang wanita seraya berkata: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya dia telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah
dia, bagaimana menurutmu.”1 Beliau pun diam dan tidak menjawab sesuatupun.
Kemudian berdirilah wanita itu dan berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia
telah menghibahkan dirinya untukmu, perhatikanlah dia, bagaimana menurutmu.”
Beliaupun diam dan tidak menjawab sesuatupun. Kemudian ia pun berdiri untuk
yang ketiga kalinya dan berkata: “Sesungguhnya ia telah menghibahkan dirinya
untukmu, perhatikan dia, bagaimana menurutmu.” Kemudian berdirilah seorang
laki-laki dan berkata: “Ya Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” Beliaupun
menjawab: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Ia berkata: “Tidak.” Kemudian
beliaupun berkata: “Pergilah dan carilah (mahar) walaupun cincin dari besi.”
Kemudian iapun mencarinya dan datang kembali kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil berkata: “Saya tidak mendapatkan sesuatupun walaupun
cincin dari besi.” Maka Rasulullah bersabda: “Apakah ada bersamamu (hafalan)
dari Al-Qur`an?” Ia berkata: “Ada, saya hafal surat ini dan itu.” Kemudian
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Pergilah, telah aku
nikahkan engkau dengan dia dengan mahar berupa Al-Qur`an yang ada padamu.”
Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini bermuara pada Abu Hazim Salamah bin Dinar
Al-A’raj Al-Madani. Adapun para rawi yang meriwayatkan dari beliau yaitu Sufyan
bin ‘Uyainah, Malik bin Anas, Ya’qub bin Abdurrahman, Hammad bin Zaid, Abdul
Aziz bin Muhammad Ad-Darawardi, Za`idah bin Qudamah Abu Ash-Shalt, Abdul ‘Aziz
bin Abi Hazim Abu Tamam, Abu Ghassan Al-Madani Muhammad bin Mutharrif, dan
Fudhail bin Sulaiman An-Numairi.
Makna dan Faedah Hadits
Kalimat:
إِنِّي لَفِي الْقَوْمِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ
“Sesungguhnya aku berada pada suatu kaum di sisi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba-tiba berdirilah seorang wanita.”
Pada riwayat Fudhail bin Sulaiman terdapat lafadz:
كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم جُلُوسًا
فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ
“Tatkala kami duduk-duduk di sisi
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, datanglah kepada beliau seorang
wanita.”
Pada riwayat Hisyam bin Sa’d dengan lafadz:
بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَتَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ
“Tatkala kami berada di sisi Nabi Shallallâhu
‘alaihi wa sallam, datanglah kepada beliau seorang wanita.”
Dan demikianlah keumuman riwayat menggunakan
lafadz “Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.”
Apabila dilihat secara zhahir, riwayat ini
bertentangan dengan riwayat dari jalan Sufyan bin ‘Uyainah yang menggunakan
lafadz:
إِذْ قَامَتْ امْرَأَةٌ
“Ketika berdiri seorang wanita.”
Yang mana, kemungkinan makna قَامَتْ di sini adalah
وَقَفَتْ,
artinya “berhenti berdiri menghadap” maksudnya adalah dia
datang hingga berhenti berdiri di tengah-tengah mereka, bukan sebelumnya duduk
di majelis kemudian berdiri.
Dan pada riwayat Sufyan Ats-Tsauri yang diriwayatkan
oleh Al-Isma’ili disebutkan:
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
“Telah datang seorang wanita kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau sedang berada di masjid.”
Riwayat ini menerangkan tempat kejadian kisah ini,
yaitu di masjid.
Adapun nama wanita dalam kisah ini, Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“Saya belum menemukan siapa namanya. Disebutkan dalam kitab Al-Ahkam karya Ibnu
Al-Qasha’, wanita itu bernama Khaulah bintu Hakim atau Ummu Syarik radhiyallahu
‘anha. Jika demikian, nama ini diperoleh dari penukilan wanita yang
menawarkan dirinya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
tersebut dalam tafsir surat Al-Ahzab ayat 50:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لِلنَّبِيِّ
“Dan perempuan beriman yang menghibahkan dirinya
kepada Nabi.”
Dalam Kitab Tafsir, hadits no. 4788,
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu menyebutkan: “Yang nampak,
wanita yang menghibahkan (menawarkan diri) itu lebih dari satu orang.” Namun
beliau memastikan bahwa wanita yang menawarkan diri dalam hadits ‘Aisyahradhiyallahu
‘anha adalah Khaulah bintu Hakim radhiyallahu ‘anha,
meskipun ada yang mengatakan ia adalah Ummu Syarik atau Fathimah bintu Syuraih.
Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah Laila bintu Hathim atau Zainab bintu
Khuzaimah, dan dalam riwayat yang lain Maimunah bintul Harits. (Fathul Bari 8/646
dan 9/250)
Kalimat:
فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ
نَفْسَهَا لَكَ
“Ia berkata: ‘Sesungguhnya dia telah menghibahkan
dirinya untukmu’.”
Dalam riwayat lain terdapat lafadz:
فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، جِئْتُ أَهَبُ لَكَ
نَفْسِي
“Ia berkata: ‘Ya Rasulullah, aku datang untuk
menghibahkan diriku kepadamu’.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata:
“Diamnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
perkara ini menjadi dalil atas bolehnya seorang wanita menghibahkan dirinya
sebagai ganti atas mahar dalam pernikahan. Hal ini sebagaimana firman AllahSubhanahu
wa Ta’ala:
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا
لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ
دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan perempuan beriman yang menyerahkan dirinya
kepada Nabi, kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan
untuk semua orang beriman.”Al-Ahzab: 50) (
Para sahabat kami (yakni pengikut mazhab Syafi’iyah)
berkata bahwa ayat dan hadits ini menjadi dalil dalam masalah tersebut
(penghibahan diri seorang wanita). Maka, apabila seorang wanita telah
menghibahkan dirinya untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallamShallallahu ‘alaihi wa sallam setelah itu untuk membayar
maharnya. Berbeda dengan selain beliau, karena pernikahannya tetap diwajibkan
untuk membayar mahar sebagaimana telah disebutkan. kemudian beliau
menikahinya tanpa mahar, yang demikian itu halal (sah) untuk beliau. Tidak ada
kewajiban sama sekali atas beliau
Tentang perihal keabsahan akad nikah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan lafadz‘hibah’ terdapat dua
pendapat:
- Ada yang mengatakan sah sesuai dengan ayat dan
hadits di atas.
- Ada yang berpendapat tidak sah, bahkan akad nikah
tidak sah kecuali dengan lafadztazwijinkah. Tidaklah sah akad nikah,
kecuali dengan salah satu dari dua kalimat tersebut. (Al-Minhaj,
9/215) atau
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“Pada lafadz penghibahan terdapat dalil bahwasanya menghibahkan diri dalam
pernikahan merupakan kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hal ini berdasarkan ucapan para sahabat ketika ingin menikahi wanita yang telah
menghibahkan dirinya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
mengatakan: “Nikahkanlah saya dengannya.” Mereka tidak
mengatakan: “Hibahkanlah dia untuk saya.” Juga berdasarkan ucapan wanita
tersebut: “Aku telah menghibahkan diriku untukmu.” Dan
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan komentar
atas perkara itu. Hal ini menjadi bukti tentang bolehnya perkara ini khusus
bagi beliau. Juga didukung dengan ayat:
خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
beriman.” (Al-Ahzab: 50) [Fathul Bari,
9/254-255]
Lafadz:
فَلَمْ يُجِبْهَا شَيْئًا
“Dan beliau tidak memberi jawaban sesuatupun.”
Pada riwayat Ma’mar, Ats-Tsauri, dan Za`idah
menggunakan lafadz:
فَصَمَتَ
“Beliau diam.”
Adapun pada riwayat Ya’qub, Ibnu Abi Hazim, dan
Hisyam bin Sa’d dengan lafadz:
فَصَعَّدَ النَّظَرَ فِيهَا وَصَوَّبَهُ
“Beliau melihat bagian atas dan bawahnya.”
An-Nawawi rahimahullahu berkata: فَصَعَّدَ
bermakna رَفَعَ artinya menengadahkan pandangan (melihat bagian atas). Adapun صَوَّبَهُ
bermakna خَفَضَ artinya menundukkan (melihat bagian bawah). Setelah itu beliau
menundukkan kepala, terdiam, dan tidak memberikan jawaban. Dalam hal ini
terdapat dalil bolehnya melihat seorang wanita yang akan dinikahi, walaupun
dengan memerhatikan keadaan dirinya secara saksama.
Lafadz:
فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ
أَنْكِحْنِيهَا
“Lalu berdiri seorang laki-laki dan berkata: ‘Ya
Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya’.”
Pada riwayat Fudhail bin Sulaiman terdapat
tambahan “dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“Saya tidak mengetahui siapa nama sahabat tersebut. Namun dalam riwayat Ma’mar
dan Ats-Tsauri yang diriwayatkan Al-Imam Ath-Thabaranirahimahullahu disebutkan: “Berdirilah
seorang laki-laki, saya kira dia dari kaum Anshar.”
Adapun pada riwayat Za`idah: “Telah berdiri
seorang laki-laki dari kaum Anshar dan ia berkata: ‘Ya Rasulullah, nikahkanlah
saya dengannya’.”
Pada riwayat Malik rahimahullahu dengan
lafadz:
زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ تَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ
“Nikahkanlah saya dengannya jika engkau tidak
berkeinginan terhadapnya.”
Lafadz:
قَالَ: هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ
“Beliau berkata: ‘Apakah engkau memiliki sesuatu?’.”
Dalam riwayat Malik terdapat tambahan: “Sesuatu
yang dapat kamu (berikan) kepadanya sebagai mahar?” Iapun menjawab:
“Tidak.”
Dalam riwayat Ya’qub dan Ibnu Abi Hazim: Ia menjawab:
“Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah.”
Sedangkan pada riwayat Hisyam bin Sa’d dengan
lafadz: “Rasulullah berkata: ‘Harus ada sesuatu (mahar) untuknya’.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan
bahwa seorang laki-laki berkata: “Jika seorang wanita ridha dengan saya,
nikahkanlah saya dengannya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun bertanya: “Apa maharnya?” Ia menjawab:
“Saya tidak punya sesuatupun.” Beliau berkata: “Carilah mahar untuknya,
sedikit atau banyak.” Ia berkata: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan
kebenaran, saya tidak punya apa-apa.”
Lafadz:
اذْهَبْ فَاطْلُبْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ
“Pergi dan carilah, walaupun sebuah cincin dari
besi.”
An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Di
sini terdapat dalil bahwa nikah tidak sah kecuali dengan adanya mahar. Karena
hal ini merupakan jalan keluar dari perselisihan, lebih bermanfaat bagi wanita
dari sisi andaikata terjadi perceraian sebelum ia menggaulinya, wajib atasnya
separuh dari mahar yang telah disebutkan. Kalaupun dilakukan akad nikah tanpa
mahar, maka sah nikahnya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya.”Al-Baqarah: 236) (
Pada lafadz ini terdapat dalil tentang bolehnya mahar
itu sedikit atau banyak dari sesuatu yang berupa harta jika terjadi keridhaan
pada kedua belah pihak. Karena cincin besi menunjukkan harta yang paling
sedikit. Dan inilah pendapat mayoritas ulama dahulu dan sekarang, sebagaimana
dinyatakan oleh Rabi’ah, Abu Zinad, Ibnu Abi Zaid, Yahya bin Sa’id, Laits bin
Sa’d, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Muslim bin Khalid Az-Zanji, Ibnu Abi Laila, Dawud,
dan ahli fiqih dari kalangan ahlul hadits serta Ibnu Wahab.
Al-Qadhi rahimahullahu berkata:
“Inilah mazhab atau pendapat seluruh ulama penduduk Hijaz, Bashrah, Kufah, Syam
dan selain mereka, bahwa boleh bentuk mahar apapun selama dengannya terjadi
keridhaan dari kedua belah pihak, walaupun sedikit. Seperti cambuk/cemeti,
sandal, cincin besi, dan semisalnya.”
Al-Imam Malik rahimahullahu berkata:
“Paling sedikit seperempat dinar seperti batasan hukuman bagi orang yang
mencuri.” Al-Qadhi Iyadh rahimahullahu berkata: “Pendapat ini
termasuk pendapat yang Al-Imam Malik rahimahullahu menyendiri
padanya.”
Abu Hanifah rahimahullahu dan
pengikutnya berkata: “Sedikitnya sepuluh dirham.” Ibnu Syubrumah rahimahullahu berkata:
“Paling sedikit lima dirham, seperti batasan dipotongnya tangan bagi seorang
yang mencuri.”
Dalam perkara pernikahan, An-Nakha’i rahimahullahu tidak
menyukai mahar yang kurang dari 42 dirham. Terkadang beliau mengatakan kurang
dari sepuluh (dirham).
Semua pendapat ini selain pendapat jumhur, merupakan
pendapat yang menyelisihi As-Sunnah. Pendapat mereka terbantah dengan hadits
yang shahih serta jelas ini.
Dalam hadits ini juga terdapat dalil atas pendapat
yang menyatakan bolehnya memakai cincin dari besi walaupun di dalamnya terdapat
perselisihan di kalangan ulama salaf, sebagaimana yang dihikayatkan oleh
Al-Qadhi rahimahullahu. Di kalangan Syafi’iyah ada dua pendapat,
dan yang paling benar dari keduanya adalah pendapat yang membolehkan, karena
hadits yang melarang dalam hal ini lemah.
Juga disunnahkan untuk menyegerakan dalam menyerahkan
mahar kepada calon istri.
Lafadz:
هَلْ مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ شَيْءٌ؟ قَالَ: مَعِي
سُورَةُ كَذَا وَسُورَةُ كَذَا
“Apakah ada bersamamu (hafalan) dari Al-Qur`an?” Ia
berkata: “Ada, saya hafal surat ini dan itu.”
Dalam riwayat Sunan Abu Dawud dan An-Nasa`i dari
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang
kamu hafal dari Al-Qur`an?” Sahabat itu pun menjawab: “Surat Al-Baqarah dan
yang berikutnya.”
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma dengan
lafadz: “Aku nikahkan dia denganmu dengan engkau ajarkan kepadanya
empat atau lima surat dari Kitabullah (sebagai maharnya).”
Lafadz:
اذْهَبْ فَقَدْ أَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ
الْقُرْآنِ
“Pergilah, telah aku nikahkan engkau dengannya dengan
mahar apa yang ada padamu dari Al-Qur`an.”
Pada riwayat dari jalan Al-Imam Malik rahimahullahu terdapat
lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau dengannya dengan (mahar)
Al-Qur`an yang ada padamu.”
Demikian pula pada riwayat Ats-Tsauri yang
diriwayatkan Ibnu Majah rahimahullahudengan lafadz:
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku nikahkan engkau dengannya atas (mahar)
Al-Qur`an yang ada padamu.”
Pada riwayat Ats-Tsauri dan Ma’mar yang diriwayatkan
Ath-Thabarani rahimahullahudengan lafadz:
قَدْ مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sungguh aku jadikan engkau memilikinya dengan
(mahar) Al-Qur`an yang ada padamu.”
Sebagian ulama (Abu Bakr Ar-Razi dari kalangan
Hanafiyah dan Ar-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyah) menjadikan hadits ini sebagai
dalil bahwa barangsiapa yang berkata: “Nikahkanlah aku dengan fulanah,”
kemudian dikatakan kepadanya:
زَوَّجْتُكَهَا بِكَذَا
“Telah aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar
demikian dan demikian.” Maka telah cukup yang
demikian itu dan calon suami tidak butuh untuk mengatakan: قَبِلْتُ (Aku
terima).
Sebagian yang lain menjadikan dalil bolehnya
menikahkan dan sah dengan lafadz selaintazwij atau inkah berdasarkan
lafadz hadits مَلكْتُكَهَا.
Al-Hafizh rahimahullahu berkata:
“Meski terdapat sekian lafadz, namun yang nampak bahwa yang diucapkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salah satu
dari yang ada. Maka yang benar dalam masalah yang seperti ini adalah memandang
kepada yang terkuat. Dan telah dinukil dari Al-Imam Ad-Daraquthni rahimahullahu,
bahwa yang benar adalah riwayat yang menyebutkan dengan lafadz: زَوَّجْتُكَهَا
karena mereka lebih banyak dan lebih kuat hafalannya.
Ibnul Jauzi rahimahullahu mengkritik
bahwa riwayat Abu Ghassan dengan lafadz أَنْكَحْتُكَهَا dan riwayat yang lainnya dengan lafadz زَوَّجْتُكَهَا
tidaklah diriwayatkan kecuali dari tiga orang saja. Mereka adalah Ma’mar,
Ya’qub, dan Ibnu Abi Hazim. Beliau berkata: “Ma’mar banyak kesalahan dan dua
yang lainnya (Ya’qub dan Ibnu Abi Hazim) bukanlah orang yang kuat hafalannya.”
Berkata Al-Hafizh rahimahullahu: “Apa
yang dituturkan Ibnul Jauzi rahimahullahu berupa kritikan atas
tiga orang rawi tadi terbantah. Lebih-lebih Abdul Aziz bin Abi Hazim,
riwayatnya dikuatkan karena beliau meriwayatkan dari orangtuanya. Seseorang
yang meriwayatkan dari keluarganya, lebih tahu tentang riwayat tersebut
dibandingkan orang lain. Kami telah memilih orang-orang yang meriwayatkan
dengan lafadz تَزْوِيج dibandingkan yang meriwayatkan dengan lafadz selain tadi.
Lebih-lebih di dalamnya terdapat riwayat para hafizh seperti
Al-Imam Malik rahimahullahu, Sufyan bin Uyainahrahimahullahu,
dan yang semisal mereka, dengan lafadz أَنْكَحْتُكَهَا.
Ibnu Tin rahimahullahu berkata:
“Ahlul hadits telah sepakat bahwa yang benar dalam hal ini adalah riwayat yang
menggunakan lafadz زَوَّجْتُكَهَا. Adapun riwayat yang menggunakan lafadz مَلكْتُكَهَا adalah
meragukan atau bimbang (وَهْمٌ).
Faedah dari Hadits
Di antara faedah lain yang dapat diambil dari hadits
di atas:
Bolehnya seorang wanita menawarkan diri kepada
seorang laki-laki yang shalih agar ia (laki-laki itu) menikahinya.
Disunnahkan bagi seorang wanita yang meminta dari
seorang laki-laki (untuk menikahinya) namun tidak memungkinkan bagi laki-laki
tersebut untuk memenuhinya, hendaknya seorang wanita dapat menahan diri (diam)
dengan diam yang dapat dipahami oleh seorang yang dimintai hajat. Janganlah
membuat laki-laki tersebut malu dari menolak. Tidak sepantasnya dalam meminta
disertai dengan terus-menerus mendesak. Termasuk dalam hal ini yaitu meminta
dalam urusan dunia dan agama dari seorang ahli ilmu. (Seperti seseorang
bertanya kepada ulama setelah selesai menuturkan soal kemudian ulama tersebut
diam, maka tidak sepantasnya untuk meminta dengan terus mendesak agar diberikan
jawaban, -pen)
Tidak ada batasan dalam mahar tentang sedikit atau
banyaknya.
Bolehnya menjadikan hafalan Al-Qur`an sebagai mahar
dengan cara mengajarkan kepada istrinya.
Sekufu dalam pernikahan adalah dalam hal status diri
apakah ia budak atau merdeka, dalam agama, nasab, dan bukan dalam hal harta.
Karena dalam hadits di atas, laki-laki tadi tidak memiliki harta yang ia
jadikan sebagai mahar kecuali hafalan Al-Qur`an yang ada padanya. (lihat Fathul
Bari 8/250-262, Al-Minhaj, 9/215-217)
Sebaik-baik mahar dalam pernikahan ialah yang sedikit
bebannya kepada suami berdasarkan hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu
‘anhu:
خَيْرُ النِّكَاحِ أَيْسَرُهُ
“Sebaik-baik nikah ialah yang paling mudah
(maharnya).” (Shahih Abu Dawud, no. 2117, Taudhihul
Ahkam, 5/311)
Wallahu a‘lam.
Copied:HERE
Footnote: Sedang dikuasai kemalasan tahap gaban untuk menulis@__@. Makanya, ana meninggalkan sedikit perkongsian hasil blogwalking ana . Doakan ana sembuh dari penyakit malas ni.. ^__^
Ya ALLAH!maafkan aku apa yang mereka tidak tahu tentang aku..dan jadikanlah aku lebih baik daripada apa yang mereka sangkakan..